|
Service engineering lecture with Diana Rikasari |
Diana Rikasari. Dikenal orang sebagai fashion blogger indie
yang passionate. Kata kak di, blogger bisa dibilang influencer karena apa yang
ditulis engga dibates-batesin. Followers/readers di blog pun lebih loyal
daripada followers di twitter. Haha, dari 300-an sekian orang yang gue follow,
gue cuma loyal sama berapa gelintir orang ya? Pacar gue doang kayaknya wkwkwk.
Jadi gue dapet kabar kalau hari rabu bakalan ada kak Di
diundang jadi dosen tamu di salah satu mata kuliah S2 Teknik Industri (service
engineering). Berhubung gue bukan anak S2, fast-track, ataupun aslab statistik yang
ambil mata kuliah itu, jadi lah gue mahasiswi sit in: numpang dateng sama duduk
doang. Dulu, yang gue tahu, Diana rikasari
itu fashion blogger yang inspiring, aja. Beberapa kali baca blognya dan seru
juga. Sampai cune bilang kalau dia alumni TIUI, wow. Sampai ada temen gue yang
asisten lab statistik bilang kalau seorang dosen statistik ketemu sama Diana rikasari
di PIM dan si ibu ini gatau kalau kak Di udah jadi orang top. Sampai si ibu
dosen minta tolong kak Di buat jadi dosen tamu untuk membahas bisnis yang dia
jalani sehubungan dengan service engineeringnya.
Mungkin yang kebanyakan orang tahu, kak Di adalah orang yang
berani ambil resiko untuk ngejalanin apa yang dia suka. Dia lahir di keluarga
banker, which is diekspektasi oleh keluarganya akan menjadi seorang banker
juga. Karena gamau mengambil jurusan ekonomi, akhirnya dianjurkan untuk
mengambil S1 di jurusan Teknik Industri dan lanjut S2 di International
Business. Ditawari berbagai macam pekerjaan dan 2,5 tahun berkerja di
multinational company terkemuka. Dari kegiatan
ngeblognya, she realize that she passion for fashion and she can monetize it. Dari
kegiatan ngeblognya dia mulai di”mintain tolong” untuk mengulas berbagai macam
brand, local sampai international, fashion brand sampai electronic brand. Dari 2,5
tahun dia bekerja di perusahaan sambil ngeblog abis pulang kerja, dia
kumpul-kumpulin modal. Sampai pada umur 25 tahun, dia berani ambil resiko untuk
resign dari perusahaan tempat dia bekerja dan memutuskan menjadi seorang
entrepreneur. Dia cerita kalau modalnya itu pure dia kumpulin dari gaji dia
sampai habis-habisan, engga mencoba untuk cari investor ataupun minta ke orang
tua.
Saat memulai bisnisnya, yang dipikirin engga cuma sekedar “gue
suka fashion, gue mau jadi entrepreneur di bidang fashion”. Engga, engga
se-apatis itu. Yang namanya bisnis kalau mau survive, caranya bukan dengan
merebut pasar orang, tapi cari pangsa pasar baru. Makanya butuh yang namanya
diversifikasi ataupun diferensiasi produk dari saingan. Dia melihat local brand
woman shoes, belum ada yang settle di pasar wedges. Sehingga fokus pasar yang
diincar adalah segmen wedges. Kak Di mengakui kalau pengalaman kerjanya di
multinational company membuat dia belajar banyak hal mengenai market, yang juga
membuat dia mapan secara teori dan berguna untuk memulai bisnisnya.
Keep as lean as possible. Istilah ini familiar banget di
telinga anak-anak Teknik Industri. Kak Di bilang dia selalu ingat itu. Selalu mencoba
untuk tidak ada pemborosan dalam masalah apapun terutama biaya.
- Modal yang dipake sama dia untuk memulai bisnis
sebagaimana udah gue bahas tadi, purely dari hasil dia nyisihin gaji. Dengan begini,
alih-alih memikirkan bagaimana cara mengembalikan uang modal pada investor,
kita akan lebih fokus pada bagaimana caranya membesarkan usaha. Soo gak ada
waste pikiran ketakutan-ketakutan kalau kita tidak bisa membayar “hutang”.
- Kak Di gak punya banyak pegawai. Selagi masih
cukup, untuk apa menambahkan biaya untuk pegawai.
- Kebanyakan orang berpikir, ketika usahanya sudah
menjadi besar, sudah harus punya kantor. Rasanya ingin memajang di website
resmi mereka di bagian about us kalau mereka punya kantor di xxxx building, Jl.
Jendral Sudirman xxxxx. Sejauh ini Up ga punya kantor, rumahnya kantornya. Bekerja
di rumah saja.
Mungkin teori differentiation product udah sangat banyak
dikenal orang. Hal ini menjadikan banyak pengusaha berlomba-lomba menciptakan
produk yang unik. Hal ini yang dinamakan “product oriented”. Mereka hanya
berfokus mencari pangsa pasar baru dan “berharap” customer akan loyal pada
produk mereka karena “produk mereka tidak dimiliki pesaing”. Disinilah masalah
service engineering mulai disinggung. Service engineering dalam bahasa
diartikan sebagai rekayasa jasa. Hari gini dimana manusia punya banyak pilihan
atas apapun udah gabisa deh berharap customer akan loyal sama kita tanpa
treatment apa-apa. Service engineering menekankan bahwa walaupun produk yang
kita tawarkan adalah literally produk, aspek service tidak boleh
dikesampingkan. Treatment for brand, memperkuat branding dengan meningkatkan
loyalitas pelanggan, kata Kak Di!
- Added value. Customer’s experience. Ini TI
banget. Memanusiakan manusia. Sering kan mengalami keadaan dimana lo membeli
barang bukan karena butuh atau suka beneran physically tapi karena seneng sama
treatmentnya.
- Masalah treatment ini lah yang ditawarin Kak Di
di iwearup.com. Bahkan dia punya layanan konsultasi virtual dengan templated question
untuk meminimalisir ketidakcocokan ekspektasi. Templated loh.
- Ketika sepatu lo rusak, biasanya diapain? Dibuang?
Tetep dipake walaupun udah ga comfort? Cari tukang sol tapi susahnya minta
ampun?. Nah Up juga menyediakan jasa reparasi langsung dikirim ke pabriknya.
- Nah yang lucunya……Up punya fitur send a gift
yang personalized dan customized. Kak Di kasi contoh biasanya yang pake fitur
ini tuh cowok-cowok yang mau kasi kado ke ceweknya. Customer bisa request
sepatu akan dikirim kemana, minta dikirim jam berapa, di dalamnya ditambah apa
aja (kartu ucapan berisi puisi cinta lalalala).
- Selain itu, Kak Di punya maksud menjadikan
website iwearup.com engga cuma dikunjungi buat belanja aja, makanya ada fitur
game segala. Hitmap di tiap-tiap button pun rajin dipantau untuk melihat
utilitasnya. Rugi dong udah capek-capek bikin fitur ternyata ga digunaian.
Selalu mencari cara dan inovasi gimana agar customer yang berkunjung ke website
mengeksplor semua menu yang disajikan.
- Ngomong-ngomong masalah ergonomi (salah satu
concern TI), Kak Di pake banget ilmu ini untuk layout websitenya. Sampai saat
ini dia percaya warna button yang paling mujarab untuk membuat customer membeli
adalah warna orange. Dalam mendesain sepatu pun dilakuin ukur-ukur kaki (bahasa
mr. dachy) karena unsur comfort sangat diutamakan dalam pembuatannya.
|
Diana Rikasari, inspirasi para ciwi-ciwi |
Nah begitulah Kak Di berbagi-bagi ilmu dan pengalaman
mengenai product built-in with service system. Which is, itulah aplikasi nyata
where engineering and management blends. TI sekali. Kalau mau gue
sambung-sambungin ke ilmu keteknikindustriannya nih, ada 3 kesimpulan:
- Usaha yang sedang dijalankan Kak Di merupakan
contoh konkrit dari Product Service System (PSS). Produk utamanya berupa
barang, supportingnya berupa service atau layanan.
- Faktor manusia sangat perlu diperhatikan demi
kontinuitas pelanggan. As simple as bikin tampilan website yang ergonomis bikin
pengunjung web pengen eksplor terus.
- Because industrial engineer make things better,
we do make everything as lean as possible. Kak Di tidak berniat untuk buka toko
atau kantor, sehingga alokasi dana untuk hal tersebut bisa dialihkan ke fitur
inovatif di online shopnya.
Karena cukup penasaran dengan dunia entrepreneurnya Kak Di
dan yaahhh….she looks like really enjoying her job, gue iseng bertanya:
“Kak Di, jadi saya salah satu pembaca blognya Kak Di, saya
sempat baca dulu Kak Di pengen kuliah di Desain grafis atau sesuatu yang artsy
gitu lah. Tapi pada akhirnya Kak Di kuliah di jurusan teknik industri dan
business. Dan saya tahu Kak Di sangat
passionate ke fashion. Jadi, yah saya minta istilahnya tips kak gimana
menggabungkan passion itu dengan background pendidikan, karena masih banyak kan
orang yang idealis banget sama passionnya”
Dan jawaban yang inspiring dari Kak Di:
“Dulu gue memang sempat berpikir untuk kuliah di jurusan
desain dan sempat merasa gue salah jurusan. Tapi sekarang Thank God gue salah
jurusan. Gue gak kebayang kalo gue ambil jurusan desain aja, mungkin gue akan
sangat product oriented karena berpikir untuk berkompetisi hanya dari segi
desain aja, gue akan stuck, karena yang namanya ide desain gabisa muncul
tiba-tiba. Jadi kalo lo merasa salah jurusan, percayalah semua ilmu itu pasti
ada gunanya. Dan apa yang gue pelajari ketika kuliah membuat gue berpikir
secara sistematis dan struktural bukan cuma jadi random things aja.”
Nah tuh, jangan terlalu idealis sama passion lah. Kalo idealis tapi gabisa di monitize, ke laut aja lah.
By the way, Kak Di cerita bagaimana dia punya visi untuk mapan
di umur 30, sehingga di umur 25 dia memilih resign dari kantornya untuk mulai
berbisnis (katanya, bisnis itu akan settle setelah 5 tahun). Dan Prof. Isti
juga sukses menutup sesi itu dengan sesuatu yang inspiring:
“Contoh ini Diana dia punya visi di umur 30 mau jadi apa,
ngapain. Kalo direncanain aja meleset, apalagi kalau gak direncanain. Jangan let
it flow kayak air mengalir ya. Air itu selalu mengalir ke tempat yang lebih
rendah, gak pernah ke tempat yang lebih tinggi. Kalo mau mengalir ke tempat
yang lebih tinggi, harus dipompa.”
Dan tiba-tiba inget prinsipnya Steve Jobs yang intinya gini:
“Cara terbaik untuk meramalkan masa depan adalah dengan
menciptakannya sekarang.”
Dan quotesnya Presiden Soekarno:
“Bermimpilah setinggi langit, sehingga apabila jatuh, kalian
akan jatuh diantara bintang-bintang.”
:””””””””””)
So, kalo Elsa mimpi mau ke New York, pait-paintya nyasar di
Paris lah -____________-
Intinya, gue punya cita-cita yang sama, sama banget kayak
Kak Di. Abis lulus S1 gue akan mencoba bekerja di perusahaan untuk nyontek
ilmunya (dan buat ngumpulin modal). Abis udah nyontek banyak, gue akan memulai
bisnis gue sendiri di umur 25 (amin, atau lebih cepat lebih baik). Belum kepikiran
sih bisnisnya apa, eh udah sih tapi labil dan kebanyakan justru…..dari bikin
electronic shop, mini grocery store, clothing line, ekspansi usaha bapak-ibu, bikin
majalah, label rekaman sampe production house -,-. Iya kebanyakan karena gue
anaknya terlalu multi interested. Noooo, belum tentu multi interested. Jadi inget
waktu gue diwawancara pas mau intern jadi kontributor di situs jalan-jalan: “kamu
multi interested atau gatau mau kemana jadi kerjaannya jumping water
kemana-mana?”, nusuk, banget.
So…..butuh banyak-banyak eksplorasi, nimbrung sana-sini, butuh banyak-banyak
belajar lagi dalam masa pencarian jati diri ini. ABG banget sih.
Ibu juga bilang “Ngapain jadi pegawai, enakan kayak ibu,
kalo males kerja ya gausah dateng, suruh aja karyawan. Kalo mau ke salon
tinggal nyalon. Mau pulang kampung tinggal pergi gausah repot ngurus kerjaan
ini itu.” Iya bu, siapa sih di dunia ini yang mau jadi pegawai selamanya, haha.
Tapi seriously guys, jiwa rantau dan entreprenuernya bokap-nyokap kayaknya udah
mulai nurun nih ke anak sulungnya, hehe. Doain aja bisa jadi hard worker kayak mereka
:”).
Xoxo. Elza S. Calon insinyur, calon pengusaha. Pokoknya lagi
labil mencari jati diri.