Saya selalu punya mimpi untuk keluar dari pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tapi tidak ada alasan yang cukup kuat untuk benar-benar mewujudkannya. Tujuan utama dan yang paling memungkinkan sebenarnya pulau Sumatera, karena sudah lebih dari sekali saya dan teman-teman merencanakan mengadakan trip kesana. Apa daya hanya wacana. Sama sekali tidak pernah terpikir bahwa ternyata pulau yang menjadi destinasi penerbangan non-jawa bali nusra pertama saya adalah……….Sulawesi. Perjalanan saya ke luar pulau ini perlu pengorbanan juga. Berhubung saya akan ada di kota yang sangat jauh dan cukup terpencil selama 2 bulan ditambah lagi saya seorang perempuan, bawaan saya sangat banyak. Tidak disangka, ternyata bagasi saya mencapai 41 kg. Apa saja isinya? Seperangkat perlengkapan sandang, buku perkuliahan (yang sangat berat-berat) dan dokumen untuk keperluan kerja praktek, ditambah lagi….karena ibu saya adalah tipe orang yang “ngasi oleh-oleh jangan tanggung-tanggung” jadilah saya membawa 1 kerdus isi makanan khas bali. Dan saya cukup shock, untuk membawa itu semua dari Denpasar sampai Berau, saya harus membayar biaya kelebihan bagasi seharga tiket Denpasar-Jakarta pulang pergi. Pasrah. Karena bawaan saya terlalu ribet untuk di bongkar muat. Berdoa, semoga seluruh bawaan bisa sampai di Berau dengan selamat, karena beberapa kali mendengar cerita penumpang transit, barang bawaan mereka tidak sampai di tujuan.
Sebenarnya tidak bisa dikatakan saya benar-benar pergi ke
Sulawesi. Karena sebenarnya, tujuan utama saya adalah Kalimantan. Dikarenakan
tidak ada penerbangan non-stop Denpasar-Berau, jadi mau tidak mau saya harus
transit dan pindah pesawat. Beruntungnya, penerbangan lanjutan yang paling
pendek durasinya adalah dengan melalui transit di ujung pandang. Dan saya baru
tahu ternyata Ujung Pandang adalah nama lama dari Makassar. Di Makassar saya
hanya numpang duduk, di bandara sultan hasanuddin. Bandara ini bandara
internasional jadi tentu sudah modern, 11:12 dengan terminal 3 (internasional)
bandara Soekarno-Hatta.
Destinasi transit saya selanjutnya adalah bandara sepinggan
di Balikpapan. Di perjalanan menuju Balikpapan, saya diapit dua bayi yang salah
satunya menangis sepanjang 1 jam perjalanan ke Balikpapan. Bandara Sepinggan
kurang lebih sama seperti bandara Ngurah Rai sebelum renovasi (bandara ngurah
rai saat ini sedang direnovasi habis-habisan). Inilah kali pertamanya saya
menginjakkan kaki di tanah Borneo. Pulau terbesar ke ? di dunia, tiba-tiba saya
merasa menjadi orang Indonesia sungguhan. untuk pertama kalinya pula ada yang
menyambut saya di bandara dengan papan panggil bertuliskan “Ms. Elza Surya
Athory”. di bandara ini saya menghabiskan waktu 2 jam untuk duduk dan tidak
berani kemana-mana karena takut tiba-tiba ada pengumuman untuk naik ke pesawat.
Sampai pada akhirnya pesawat menuju destinasi terakhir saya, Berau (BEJ).
Pesawatnya hanya berkapasitas 80 orang dengan guncangan dimana-mana, oopss.
Perjalanan saya hari itu cukup panjang karena harus menaiki
3 pesawat yang berbeda di pulau yang berbeda pula. Sesampainya di berau saya
disambut dengan landscape ala Kalimantan, hutan. Hutan yang katanya banyak
dibakar saja dari udara masih terlihat rimbun. Sesungguhnya saya masih amaze,
tiba juga waktu dimana saya benar-benar melakukan perjalanan ini. Perjalanan
yang merupakan pilihan saya sendiri, yang kata banyak orang saya terlalu rock
and roll. Perjalanan yang pernah muncul dalam bentuk mimpi buruk. Perjalanan
yang sering membuat budi bilang “elsa jangan ke berau”. Perjalanan yang membuat
anak MB bilang “anak BD gimana?”. Perjalanan yang ditanyakan semua orang “lo
sama siapa?” kemudian saya jawab “sendiri”. Jujur saja, saya sama sekali tidak
memikirkan resiko dan konsekuensi apa yang akan saya hadapi. Saya berprinsip
jika ada terlalu banyak pertimbangan, yang ada hanya jadi wacana, terkesan “ga
mikir” bukan?.
Jadi, untuk diri saya sendiri, survive is a must. Berau
bukan Tabanan, Depok, apalagi Jakarta. Yang setiap 2 km ada alfamart. Atau yang
dimana-mana ada angkot. Atau yang sinyal telkomselnya H. Tapi ini tanah Borneo
yang panas, tidak ada angkutan umum, tidak ada indomaret, tidak ada kenalan
satu pun, susah mencari atm bca, antri spbu sampai jalan raya, dan sinyal axis SOS.
Jangan mengaku darah rantau kalau cemen! Jangan mengaku
darah tasikmalaya-banyuwangi-tabanan-solo-tangerang-depok kalau 2 bulan saja
kalah dengan 9 tahun hidup rantau!
0 comments:
Post a Comment